Senin, 05 April 2010

Belajar Tulus Dari Sepasang As (Serial Hikmah)

Bismillahirrahmanirrahim.

Sebenarnya saya sudah ingin menuangkan apa yang ada dalam hati ini dari beberapa beberapa waktu yang lalu , tapi akhirnya Allah mengizinkan saya untuk kembali berbagi tentang apa yang saya rasakan pada malam yang pekat ditemani rintik hujan yang tiada lebat.

Ada kisah menarik, berisi tentang tujuan, ketulusan, keajaiban, dan kehendakNya yang tiada dapat kita bayangkan dengan logika. Kisah yang terdapat di majalah Hidayatullah edisi Desember 2007, yang diceritakan kembali oleh ust. Solihin dalam bukunya Happy Ending Full Barokah, ini menceritakan tentang perjuangan sepasang As. Asep dan Asih yang merupakan ‘rakyat kecil’ tapi memiliki tekad besar yang mereka bangun dari puluhan tahun sebelumnya. Apa tekad dan cita mereka? Mereka sangat ingin menunaikan ibadah haji dan menjadi haji yang mabrur karenanya.

Dewasa ini seringkali kita temukan orang-orang yang begitu sering pergi ke Mekkah untuk berhaji. Namun sangat disayangkan, ketika sebagian dari mereka yang melakukan haji secara rutin ternyata tidak berimbas pada amal dan keseharian mereka. Sehingga haji tinggallah haji, tidak menumbuhkan rasa peduli maupun empati.

Di kota kita tercinta ini, Asep (waktu itu usia beliau 61 tahun) bersama istrinya Asih insya Allah dapat mewakili teladan ketulusan. Hampir selama 20 tahun mereka menabung sedikit demi sedikit hasil usaha mereka yang ‘hanya’ warung kecil untuk ongkos haji berdua. Alhamdulillah uang mereka waktu itu sudah terkumpul Rp 50.830.000, nyaris mencukupi untuk ongkos mereka berdua yang pada saat itu sekitar 27juta rupiah seorang. Apabila menabung setahun lagi insya Allah dapat pergi berhaji. Begitu pikir mereka.

Melihat selisih yang sudah tinggal sedikit ini, menambah giat mereka dalam berusaha. Tidak lupa mereka terus menyisihkan hasil keringat mereka demi tujuan besar yang sudah mereka idamkan bertahun lamanya. Hingga suatu pagi terdengar oleh mereka, Kang Endi yang merupakan sahabat karib sesame jama’ah masjid dirawat di RS Hasan Sadikin Bandung. Asep pun bersegera menjenguknya.

Kang Endi dirawat di ICU karena didiagnosa ada tumor ganas yang menyerang dan menjalar. Selama beberapa hari Kang Endi dirawat, Asep kerap menjenguknya dan membesarkan hati sahabatnya tersebut. Hingga tatkala hari kesebelas, saat Kang Endi sudah beberapa hari dipindah dari ICU ke kamar kelas 3, seorang perawat datang membawa surat tawaran operasi dengan biaya yang luar biasa besar, hampir Rp 50.000.000. Dengan ekonomi mereka yang terbatas, keluarga Kang Endi sudah pasrah. Sementara kondisi Kang Endi sendiri semakinparah dengan tubuh yang kian kurus dan lemah. Di pinggir ranjang sahabatnya, Asep hanya berdiam diri sambil memperhatikan kondisi sahabatnya dan keluarga Kang Endi. Tak lama dari itu, Asep mohon pamit untuk pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, Asep menawarkan keputusannya kepada Asih. Dia ceritakan kondisi di rumah sakit tadi. “Bu, kondisi Kang Endi semakin memburuk. Bapak tidak sanggup melihat penderitaanya.”
“Kasian ya Pak! Kita bisa bantu apa?” tanya ibu Asih iba. “Kalau ibu berkenan, bagaimana bila tabungan haji kita DIBERIKAN SAJA kepada mereka semua untuk biaya operasi?” Asep menawarkan. Asih sempat kaget. “Diberikan? Waduh pak, hampir 20 tahun lho kita nabung. Masak cita-cita ini pupus seketika dengan membantu orang lain?” tutur Asih memelas.

“Bu, banyak orang yang berhaji tapi blum tentu mabrur di sisi Allah. Mungkin ini jalan kita meraih ke-ridho-anNya. Bapak yakin bila kita menolong saudara kita, insya Allah kita DITOLONG ALLAH.” Nasehat Asep
Kalimat demi kalimat yang disampaikan dengan halus, pengertian tanpa paksaan menyirami hati Asih, hingga akhirnya (dengan izin Allah) Asih mengangguk setuju. Keesokan paginya, Asep dan istrinya bersegera ke rumah sakit untuk mengajak bicara istri Kang Endi sekaligus menyerahkan uang yang mereka punya sebagai biaya operasi.

Istri Kang Endi tersentak dan menagis atas ketulusan sahabat suaminya itu. Uang itu segera dibawa untuk melunasi administrasi dan menandatangani formulir operasi yang langsung diadakan kesesokan harinya.
Esoknya, sebelum operasi sang dokter spesialis berbincang dengan keluarga Kang Endi. Memohon doa serta menanyakan perihal asal muasal biaya tersebut mereka dapatkan. Setelah diceritakan tentang asal biaya serta sedikit tentang profesi Asep, operasi dilakukan. Alhamdulillah operasi sukses dan lancer. Setelah itu, Kang Endi menjalani masa penyembuhan yang dimana Asep masih sering menjenguknya.

Suatu ketika Asep dan dokter spesialis sempat berkenalan kerika sang dokter hendak memeriksa Kang Endi. Setelah sedikit berbincang dan bertukar alamat dokter itu memuji kebaikan Asep yang dibalas Asep dengan mengembalikan pujian itu pada Allah.

Beberapa pekan berselang, Kang Endi sudah pulang dari rumah sakit, Asep dan Asih sudah memulai kembali rutinitas harian mereka dengan jauh lebih semangat, demi tujuan mereka yang masih tetap kuat, menunaikan ibadah haji.

Pada suatu malam, datang di depan warung mereka sebuah sedan hitam. Sepasang pria dan wanita turun, yang setelah mendekat tahulah Asep kalau itu adalah dokter yang merawat Kang Endi. Segera disambut mereka dengan keramahan tulus meski gurat kelelahan jelas terlihat di wjah Asep dan Asih. Mereka ingin memuliakan tamu dengan semampu mereka, maka dijamulah mereka dengan jamuan sangat seadanya, dan dimulailah perbincangan hangat antara dokter dengan Asep.

“Kami ingin belajar ikhlas seperti Pak Asep dan Ibu.” ungkap dokter penuh kerendahan. Asep mengelak, merendah.

“Pak Asep dan Ibu, saya dan istri insya Allah berniat melaksanakan ibadah haji tahun depan. Saya mohon doanya agar dimudahkan dan dilancarkan. Saya yakin doa orang-orang sholeh seperti Bapak dan Ibu didengar Allah.” lanjut dokter. Berkali-kali Asep dan Asih hanya bisa mengaminkan walau rasa getir kerap muncul. Sebab tahun depan mereka juga berniat haji dengan tabungan mereka pada awalnya.

“Tapi, supaya doa Bapak dan Ibu semakin dikabulkan, gimana kalau berdoa di TEMPAT YANG MUSTAJAB?” papar dokter tadi. Asep sempat bingung, “Maksud Pak Dokter?”
“Maksud kami, izinkan saya dan istri MENGAJAK BAPAK DAN IBU UNTUK BERHAJI BERSAMA KAMI dan berdoa di sana sehingga Allah mengabulkan doa kita semua,” tutr dokter penuh suka cita.
Sontak Asep dan Asih terdiam. Hening. Tak ada jawaban dari keduanya selain air mata yang terus mengalir. Hanya sujud penuh rasa khidmat dan syukur kepada Allah yang mampu dilakukan Asep dan Asih. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau semuanya kan diganti secepat ini, dan di ujung malam itu. Di atas sajadah lusuh yang menjadi alas sujud mereka, Asep dan Asih menangis. Meledak rasa syukur tak tertahankan dalam tiap sujudnya. Sujud-sujud yang teramat syahdu dalam pilar syukur yang menyala indah.

Subhanallah wa Alhamdulillah. Tiada kata yang mewakili selain hanya pada keagungan Allah kita memasrahkan diri. Semoga kisah ini dapat kita jadikan teladan bersama serta kita ambil hikmah yang terkandung di dalamnya.

Ditulis di pergantian hari, ditemani nasyid menggugah hati, di kamar yang semoga Allah berkahi..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar