Senin, 03 Oktober 2011

Kemana, Kemana, Kemana Euforia Kumcer dan Novel Islami Kini?

Bismillah Ar Rahman Ar Rahim.

Dewasa ini merasakan ada yang hilang setelah sekian lama, terutama ketika berjalan di toko buku atau pameran buku skala lokal atau nasional baik itu islami atau umum. Apakah itu? Ya, itu adalah karya seni yang bernuansa islami. Entah itu kumpulan cerpen (kumcer), novel-komik (nomik), komik, atau novel.

Dahulu ketika pertama kali mengunjungi Islamic Book Fair pada tahun 2003 di Istora, jujur begitu banyak karya penulis islam yang mewarnai dan menjadi gema tersendiri. Sehingga otomatis sepulang dari pameran, begitu banyak buku islam yang memenuhi meja belajar kami (saya dan teman-teman di asrama). Seolah haus dan lapar, kami membeli buku menarik yang kami jumpai. Atau meminta teman tuk membeli agar bisa meminjam di kemudian hari. Mulai dari buku yang berbau hiburan (seperti novel, komik, kumcer, nomik) sampai buku serius dan bahkan ada yang membeli buku pernikahan (sekadar catatan, saat itu kami masih duduk di Sekolah Menengah Pertama).

Euforia buku melanda seluruh asrama, tak jarang dijumpai kawan yang asyik membaca. Buku hiburan islami seolah menjadi alternatif tersendiri. Terutama kala itu di asrama tak boleh ada komik dan novel yang berkeliaran secara bebas.

Begitu pun yang saya rasa terjadi di negeri ini kala itu, penulis seakan berlomba tuk mengeluarkan karya terbarunya. Memenuhi hasrat hiburan islami yang telah lama dirundung sepi. Bahkan Fahri Asiza, seorang penulis islami yang diantara karyanya adalah Syakila, pernah membuat satu novel hanya dalam waktu tiga hari dan cukup berkualitas. Sangat mengesankan!

Namun usia euforia itu sangat singkat dirasa. Warna yang memenuhi pameran buku islam sudah tidak begitu sama, terutama dari segi hiburan islaminya. Novel islami masih ada, namun warnanya kurang ramai tak seperti dahulu kala. Penulis muda pun mulai jarang didengar kiprahnya.

Alhamdulillah memang karena ternyata beberapa novel yang bernilai islami sukses menjadi best seller, tetapi tema yang berkaitan dengan dunia remaja masih kurang terasa. Banyaknya novel islami kini memuat kisah mahasiswa atau orang dewasa, sementara remaja-yang notabenenya masa pencarian jati diri tahap awal-masih sepi minim aksi.

Sedikit curhat, saya tidak pernah terlibat dengan yang namanya rohis ketika masa SMP atau SMA. Karena lingkungan saya sudah pesantren, sekolah berasrama yang islami. Sehingga minim sekali pengetahuan dan wawasan terkait dunia umum. Namun, saya bisa membayangkan tentang unit atau kegiatan rohis serta remaja ideal melalui novel dan cerpen yang sering saya baca dan dapatkan ketika di asrama. Sehingga itu menjadi pegangan dan gambaran ideal bagaimana sosok remaja islam seharusnya.

Intinya, remaja itu masih belum stabil. Masih butuh pegangan dan tuntunan. Adapun sastra islami yang berkaitan dengan dunia remaja menjadi alternatif yang cukup mengena tuk membentuk pola pikir para remaja dan para aktivis rohis khususnya.

Mungkin remaja kini yang cenderung galau, labil, dan berlebihan dalam memuja manusia biasa berlabel artis adalah hasil atau buah dari terlenanya kita dalam menjaga pola pikir mereka terhadap dunia hiburan. Maka tugas kita yang telah melalui fase remaja tadi untuk membina mereka agar selamat pikiran dan aqidahnya. Bicara pembinaan berarti kita sedang membangun peradaban, dan pembangunan peradaban adalah awal serta fase penting sebuah kebangkitan. Mari bergerak dan bersiap siaga! Untuk remaja yang rabbani sebagai aset penting umat ini.


Sekre KARISMA ITB, 3 Oktober 2011
Muhammad Ridho Fazri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar