Bismillah Ar Rahman Ar Rahim ..
Di dinginnya pagi ini, izinkan aku sedikit bertutur padamu kawan. Bercerita tentang keresahan dan kegelisahan yang menggelayut di dada. Bukan maksudku untuk menambah masalahmu. Bukan. Namun, hanya untuk sedikit melepas beban yang makin lama terasa makin menyesakkan jiwa.
Kawan, ingatkah engkau di liqo terakhir kita dahulu, ketika sebelum kita semua berpisah ke alam masing-masing. Ah, dirimu tak mengingatnya? Hmm, biar aku sedikit menggalinya ya kawan? Waktu itu aku masih sangat mengingat wejangan dari ustaz kita tercinta tentang sikap kepada "pasangan jenis" kita. Ketika itu di akhir pertemuan seorang saudara kita menanyakan sikap yang harus kita pegang tatkala berhadapan dengan "pasangan jenis" yang mendekati diri dan mulai menarik hati. Ingatkah kau jawaban ustaz kita? Aku masih ingat kawan. Jauhi ia sesuai pemahamannya. Jauhi ia sesuai dengan "tingkat" dan berapa lama ia ter-tarbiyah. Jauhi dan jangan sekali-kali mendekati atau memancing agar ditanggapi. Ya kawan, intinya jauhi. Karena meski sepele -aku katakan SEPELE- permasalahan ini berkaitan dengan hati. Dan tahukah kau kawan bila hati ini sudah bergerak bukan karenaNya? Itulah RIYA kawan. Syirik kecil yang merusakkan amalan. Bahkan bisa membuat kita terhujam dalam di panasnya jahanam.
Namun kawan, lihatlah diri ini sekarang. Aku malu kawan. Aku malu dengan diriku dua tahun silam tatkala aku masih mampu memegang komitmen untuk bergerak bersama hanya untukNya. BUKAN untuknya. Aku malu kawan tatkala aku membiarkan diriku mencium aroma neraka sedekat-dekatnya dengan membiarkan hati ini membuka terhadap nafsu belaka karena mereka -pasangan jenis kita-. Aku malu tatkala aku merasa tak pantas membangun generasi rabbani (karena diri ini pun jauh dari itu) ketika hati ini berat untuk mengatakan dan memutuskan bahwa apa yang aku rasa ini salah. Aku malu kawan.
Masih ingatkah kau kawan? Tentang apa yang telah dijelaskan oleh ustaz kita di kumpul pekanan. Bahwa masing-masing diri ita ini berharga kawan. Bahkan sangat berharga. Tidak teritung berapa banyak tenaga, dana, dan mungkin darah yang tercurah untuk melahirkan kita sebagai kader dakwah. Tidak terhitung kawan. Namun, lihatlah diri kita sekarang. Lihat diriku sekarang. Masihkah aku pantas menyebut diriku kader dakwah? Seorang kader dakwah tak pernah mengeluh mengerjakan amalan yaumiyah tapi aku mengeluh tatkala mengerjakan amalan sunnah dan tilawah. Seorang kader hdakwah harus bisa menjadi panutan dan teladan tapi aku , ah kau tahu sendiri bagaimana aku sekarang, pantaskah aku disebut teladan? Seorang kader dakwah paling tahu bagaimana menjaga hatinya, sementara kau tahu kawan? Hati ini masih sering tergoda oleh makhluknya dan itu melenakan aku dari amanahku. Seorang kader dakwah tahu tentang pentingnya tarbiyah dan segala sarana pra sarananya tetapi aku hanya tahu teori kawan jarang aku aplikasikan. Malu aku kawan. Malu.
Kawan, ingatkah kau tentang materi persaudaraan yang kerap kali kau sebut ukhuwwah? Bah, aku lebih malu kawan tatkala aku suka merasa berat mambantu saudaraku. Aku merasa terbebani ketika tenaga dan harta ini kubagi dengannya. Aku merasa berat untuk mengeluarkan infaq, padahal kau tahu itu wajib untukku. Aku masih kurang mengenali masalah mereka tidak seperti mereka yang begitu mudah mengenali masalahku. Kawan, masihkah aku pantas menyebut ukhuwwah antara kita, aku denganmu, aku dengan mereka, kuat? Aku ragu kawan. Ragu.
Namun kawan ditengah penyesakkan atas segala yang menghadang, aku ingat. Ingat akan ayatNya "Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta" (Q.S Al Ankabut : 1-4) .
Maka aku anggap ini ujianku kawan, ujian keimanan yang pasti berbuah kemenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar