Minggu, 19 September 2010

Sebuah Surat Untuk Ayah

Bismillah Ar Rahman Ar Rahim ..

Kutulis di tengah kegelisahan hati pada malam yang sepi ..

Sebuah surat untukmu yang ku cintai dan ku rindukan, seseorang dengan pengorbanan, sosok dengan penuh kehangatan di balik ketegasan. Ya surat ini untukmu yang pergi tak kembali. Ayahanda ku tercinta.

Masih aku ingat segala kenangan denganmu yang menurutku cukup singkat. Aku bersamamu hanya dalam kurun waktu usiaku 2 bulan sampai 7 tahun. Selepas itu kau pergi merajut mimpi kami, keluargamu yang begitu kau cintai. Sampai usiaku 13 tahun dan dirimu genap 50 tahun, kau melanjutkan perjalananmu menuju alam selanjutnya. Kau pergi, berpisah dari kami meninggalkan alam duniawi.

Pak, izinkan aku memutar kembali waktu bawah sadarku. Kembali ke masa-masa itu. Sekadar mengingatkan ku untuk bersyukur, Allah menitipkanku padamu Pak.

Maafkan aku Pak yang dulu ketika kecil saat kau ajari aku shalat aku selalu bersembunyi dan mengagetkanmu ketika shalatmu usai.

Maafkan aku Pak yang dulu begitu susah kau ajari untuk menghafal Al Quran, padahal kau menyempatkannya di sela sibuknya urusanmu, dan tahukah kau Pak? Surat yang dulu kita hafal bersama saat aku 1 SD, surat Al Fajr, adalah surat yang paling aku ingat dan tidak pernah aku lupakan sampai sekarang. Sehingga timbul penyesalan, kenapa dulu aku begitu malas mengaji bersamamu. Ah, penyesalan memang datang di akhir.

Maafkan aku Pak yang sering memaksamu membelikan komik untukku. Aku ingat loh Pak ketika pertama kali kau membelikannya pas aku kelas 2 SD dan itu komik Thomas Alfa Edison. Dan aku bersyukur itu menarik minat bacaku juga menambah wawasanku tentang pelbagai hal, meski tidak pula aku pungkiri itu malah membuat kamarku saat ini dipenuhi komik, baik yang kau belikan atau yang aku beli dengan uangku sendiri.

Maafkan aku Pak yang selalu berkata “Ah, nti aja ya Pak!” atau “Tapi nti beliin ini ya, itu ya” ketika kau memintaku untuk memijatmu. Padahal dirimu sangat lelah saat itu dan aku baru mengerti Pak kalau pekerjaanmu itu menuntutmu siap 24 jam setiap hari di kemudian waktu. Bahkan di saat terakhirku bersamamu pun aku masih mengelak tatkala kau pinta ku memijatmu. Maafkan aku Pak, maaf.

Maafkan aku pula Pak yang sering mengejekmu meski hanya candaan di depanmu, sehingga Ibu berkata kepadaku di saat pemakamanmu kalau aku denganmu lebih terlihat sebagai sahabat dekat. Maaf Pak, sungguh aku tak bermaksud menyakiti hatimu saat itu.

Pak, terima kasih sudah mengenalkanku pada sekolah Tarbiyah walau kau mungkin saat itu belum mengikuti proses Tarbiyah seperti sekarang ini. Terima kasih sudah membesarkan aku, anakmu yang suka kurang ajar terhadapmu. Terima kasih sudah mengajarkanku segala hal-hal yang baru. Dan terima kasih sudah bersedia menjadi ayahku.

Di akhir suratku ini aku ingin menyanyikan lagu yang terakhir kunyanyikan bersamamu dalam perjalanan pulang ke Jakarta 5 Agustus 2004.
“Kapan-kapan kita bertemu lagi.
Kapan-kapan kita bersama lagi.
Mungkin lusa atau di lain hari.
Mungkin lusa atau di lain hari.”

Semoga nyanyian terakhir ku waktu itu menjadi doa. Doa bahwa kelak kita dipertemukan kembali, doa bahwa kita kelak kan bersama kembali. Bukan lusa memang, tetapi nanti di dalam jannahNya yang abadi.

@sekre KARISMA, 29 Juni 2010
Anakmu, Muhammad Ridho Fazri

2 komentar:

  1. semoga tetap sabar ya akhi. tetaplah berdoa untuk almarhum ayah. semoga kelak dipertemukan lagi di jannah Nya. amin..

    BalasHapus
  2. Jazakallah akhi, insya Allah doa selalu untuknya.
    Amiiin, karena sejatinya ini 'hanya' perpisahan sementara insya Allah :)

    BalasHapus