Kamis, 07 Februari 2013

Satu Hari yang Selalu Dikenang, Meninggalkan Kerinduan yang Mendalam.

22 Agustus 2004.

Pagi yang cerah di hari Ahad. Ceria kami seasrama karena hendak berjalan-jalan ke kebun milik guru bahasa Inggris kami. Sambil mendendangkan 'I look I see', kami berjalan bersama-sama. Ah aku rasa itu hari yang membahagiakan di kala tahun terakhir SMP di Ibnu Salam.

Tiada yang aneh di sana, sudah terbiasa dengan hutan tak membuat kami heboh di perkebunan. Satu-satunya kegaduhan terjadi karena di sana sudah ada teman-teman angkatan kami yang putri. Yaa, maklumlah usia puber. Mungkin beberapa pada saling caper hehe.

Usai melihat, berfoto, dan (kalau gak salah) mengerjakan beberapa tugas. Kami bersiap pulang, mengingat hari pun mulai menginjak siang. Seperti biasa canda tawa hiasi perjalanan. Khas jika berjalan bersama teman-teman. Aku merasa hari ini masih hari seperti biasa, Ahad yang sama dengan tanggal yang beda.

Sesampai di Ibnu Salam, kegiatan mandiri dilakukan. Ya maksudnya istirahat. Ada yang makan, main, jalan-jalan, tapi karena di asrama gak ada TV/PC jelas tidak ada satu pun yang memilih aktivitas nonton atau main game. Semua masih terasa sama, dan adzan Dzuhur berkumandang. Shalat kawan, kita shalat awal waktu kok.

Usai Dzuhur dan santap siang, teman ku ada yang mengajak main bola. Bukan di lapangan, tapi hanya saling tendang-menendang bola di belakang asrama. Aku pun mengiyakan, karena bosan juga jika kembali tiduran. Kami pun bermain, dengan riang.

Hingga menjelang pukul 2 siang, ada panggilan "Dho, ada yang jemput."

Aku menengok, bertanya "Ibuku kah yang datang?" Cukup heran, karena semalam aku menelepon Ibu sedang sakit. Temanku membalas, "Bukan, gak tau. Katanya temen bokap lo dho."

Aku melihat, "Ah iya, itu temen bapak." Ya, aku melihat temen bapak beserta isterinya. Mereka hampiriku dan berkata, "Ibu minta kamu pulang."

Namanya juga anak asrama, tentu senang kalo diminta pulang. Aku pun bergegas bersiap-siap. Hanya satu tas yang aku bawa, dengan satu komik Fantasista tuk dibaca.

Mereka ternyata bawa mobil, aku pun disuruh masuk. Dan ketika masuk aku melihat ada temen-temen bapak yang ternyata sedang menangis. Aku acuh, karena memang ku pikir tak ada urusannya denganku. Ya, kupikir begitu.

Perjalanan dimulai, kembali menyusuri jalan yang tadi pagi aku dan teman-teman lewati. Hanya saja kini naik mobil, karena memang tujuan kami lebih jauh. Jakarta.

Sesampai di dekat gerbang tol Serang, teman bapak yang mengendarai mobil mendadak menelepon. Ia pun menepikan mobil dan keluar sejenak. Usai bincang lama, ia kembali masuk dan berkata padaku.

"Kita ke Cilegon dulu yaa."

Aku hanya diam, mengangguk.

Seperti biasanya, aku tertidur di perjalanan. Apalagi ini dengan mobil yang cukup nyaman. Ketika kubuka mata, nampaknya sudah sampai di Cilegon. Ya kami memasuki kawasan RS Krakatau Steel Cilegon.

"Ada yang sakitkah? Atau bapak sakit lagi?" Begitu kupikir. Karena 8 bulan sebelumnya, bapak pernah dirawat di sini. Meski langsung dipindah ke Jakarta.

Aku lihat depan RS, "Ramai sekali, banyak teman dan kenalan bapak yang datang." Aku pun melihat, "Lho, kok ibu di sini? Katanya sakit." Ya, ada ibuku yang duduk di depan pintu UGD. Matanya memerah, sampai bengkak sebelah. Lirih ia berkata padaku, "Le, temui bapak dulu sana."

Aku berjalan perlahan, melewati beberapa ranjang pasien. Hingga kulihat sesosok yang terbaring. Ditutupi kain putih hingga wajahnya. Aku tahu, aku kenal, aku tahu sosok itu!

"Bapaaaaak!" Sontak aku teriak, memeluk jasad yang tiada lagi bergerak. Bapakku! Bapakku! Bapakku meninggal!

Aku menangis, dan langsung dipeluk oleh orang tua temanku. Berusaha menyabarkan, mengingatkanku tuk iringi dengan doa bukan dengan histeris air mata.

Aku hanya berucap pelan, lirih berbisik diantara tangis, "InnaliLlahi, innaliLlahi, innaliLlahi. AstaghfiruLlah."

Aku membuka penutup wajahnya, kulihat wajahnya teduh di sana. Kukecup keningnya perlahan, dingin. Dingin, tiada kehangatan. Aku hanya bisa pandangi ia, berharap semua ini hanya mimpi saja.

Mendadak terbuka kembali memori-memori silam.

Aku ingat, saat bapak mengajakku pergi ke TMII. Menaiki kereta gantung, pertama kali dalam hidup ini.

Aku ingat, saat bapak mengantarkan aku sekolah kelas 1 dan 2 SD. Ketika ia menggunting kukuku dengan kasih sayang dan perlahan. Diakhiri dengan membekali uang jajan.

Aku ingat, ketika bapak mengajarkan aku shalat. Mengajak aku berjama'ah di masjid. Mengenalkan aku pada Quran, menemaniku tuk beberapa hafalan.

Aku ingat, ketika ia pindah kerja ke ujung barat pulau Jawa. Ketika aku mengantarnya, menginap di kantornya. Dikenalkan dengan rekan-rekan kerjanya.

Aku ingat, betapa aku sangat dibanggakannya. Betapa ia sering ceritakan tentang prestasiku di sekolah. Tentang aku yang mau disekolahkan di asrama. Tentang aku yang tak pernah meminta uang jajan selain yang ia kasihkan. Ah semua tentang baik-baiknya diriku, hampir selalu ia ceritakan pada kawannya.

Aku ingat, kau yang hanya bisa pulang sebulan sekali. Karena amanah dan tanggung jawabmu di sana. Aku kerap menunggumu, memelukmu ketika kau datang. Dan gundah ketika kau pamit kembali kerja.

Aku ingat, ibu yang berkata kita seperti sahabat. Sangat dekat. Betapa sering kau ajak aku keliling Jakarta ini. Betapa sering kau kenalkan aku budaya negeri ini. Betapa sering kau tanamkan pada diri, kecintaan pada Illahi.

Aku pun terhempas kembali pada kenyataan. Sosok yang aku cinta kini tiada. Sosok yang aku rindu kini telah pergi dari sisiku. Sosok yang aku kasihi telah meninggalkan kami, menuju sisi Illahi.

Teringat lagu terakhir yang kita nyanyikan bersama.
"Kapan-kapan, kita bersama lagi.
Kapan-kapan, kita berjumpa lagi.
Mungkin lusa, atau di lain hari.
Mungkin lusa, atau di lain hari."

Ya, Allah tidak pertemukan kita pada esok atau lusa setelah perjumpaan terakhir kita. Tapi aku yakin, kita tidak berpisah pak. Kita hanya mempersiapkan sebuah pertemuan kembali yang jauh lebih indah dan kekal. Kelak dalam jannahNya, di firdaus yang mulia.

Aku tahu suara ini tak sampai padamu, tapi aku hanya ingin ucapkan sekali dan berkali-kali lagi.
"Betapa aku sangat mencintaimu, Pak."

Jakarta, di tanggal lahirmu yang selalu kuingat, 7 Februari.
Dalam derai air mata di 2013 ini.
Anakmu, Muhammad Ridho Fazri

4 komentar:

  1. Kang, izin baca *padahal udah dibaca*
    Semoga Allah memberikan tempat terbaik buat bapak di sisi-Nya.
    Benar Kang, kita harus jadi anak yang shaleh, salah satunya agar kita bisa hidup kekal dengan orang tua kita di surga. aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Diizinkan kok hehe.

      Aamiiin, jazakiLlah doanya. Benar, salah satu bakti dan syukur kita terhadap anugerah terbesar yakni kasih sayang orang tua ialah dengan menjadi anak yang shalih/ah. Agar terijabah doa, agar kelak kembali bersama dalam berkah dan rahmatNya. :)

      Aamiiiiin :)

      Hapus
  2. merinding saya membacanya.. yang sabar yah kang. semoga Bapak diberikan tempat yang terbaik olehNya...

    jujur, pertama 'nyasar' ke blog ini merupakan hasil dari pencarian di gugel "ke bandung paling murah naik apa". salam kenal kang..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiiin, terima kasih sudah mampir dan membaca :)


      Salam kenal juga ya, artikel yang tentang ke Bandung itu perlu diubah sedikit. Mengingat harga sudah tak lagi sama.

      Hapus