Bismillah Ar Rahman Ar Rahim.
Ramadhan kan kembali tiba. Seketika banyak orang
mengubah tampilan, sikap dan prilakunya. Banyak yang mengubah imej, semula buruk
menjadi baik dan bagus. Tadinya tak mengenakan busana muslimah, khusus di bulan
Ramadhan, menjadi berjilbab. Hotel, restoran, televisi, band, dan tempat-tempat
publik yang umumnya kerap bertabur maksitat berupaya menyesuaikan tampilan dan
programnya. Mereka menyebutnya "Islami".
Orang boleh bersilang pendapat,
apakah tampilan yang dimaksud termasuk islami atau tidak. Tapi yang pasti
ironis, Islam seakan hanya berhak hidup pada bulan Ramadhan ini. Setelah itu menjadi
tak diperlukan. Sejumlah selebritis berterus-terang akan mengubah dirinya pada
bulan suci ini. namun terlihat kembali seperti biasanya pada bulan lainnya.
Ironis memang. Jagad kita seolah
bertabur dengan nuansa ironi. Jika seseorang ingin mengubah dirinya menjadi
lebih baik kala Ramadhan, bukankah itu juga berarti dia mengakui bahwa apa yang
lazim ia lakukan pada bulan-bulan selain Ramadhan adalah bentuk kemaksiatan dan
kemungkaran? Namun betapa banyak yang mengakui tanpa terlihat rasa malu dan bersalah.Banyak
orang yang mendukung, mengamini, atau sekadar monontonnya. Seperti kata sebuah
pameo, kesalahan yang terus menerus diulang, kelak kan terlihat seperti sebuah
kebenaran.
Lebih ironis lagi, tak sedikit
kaum "muslimin" yang memuaskan dirinya dengan kemaksiatan
hanya selang beberapa hari jelang Ramadhan. Mereka pergi ke tempat-tempat
hiburan, memuaskan hasratnya sebelum kan ditahan sebulan.
Pada Ramadhan kita kan berubah
menjadi manusia "shalih": berpuasa, bangun sahur, shalat
Subuh, tarawih, dan lain sebagainya. Sebuah fenomena yang selalu terulang
setiap tahun. Ada yang mematok hatinya untuk berubah di bulan Ramadhan. Ada
yang berharap dirinya dapat menjemput hidayah, sebagai langkah awal untuk
perbaikan pada bulan-bulan dan masa selanjutnya. Karena bagaimana pun, Ramadhan
tak dapat dipungkiri, adalah momentum untuk membenahi diri.
Dengan mematok sekadar menahan
diri untuk tidak bermaksiat atau hanya mengurangi pada bulan Ramadhan, maka
kita tak ubahnya seperti mengenakan topeng di bulan paling istimewa ini.
Nyatanya, begitu banyak orang yang hidup dengan topeng. Ada yang
berterus-terang, tapi ada juga yang sembunyi-sembunyi. Malu-malu kucing.
Mungkin kita terlupa bahwa
sejatinya Ramadhan ini adalah sarana penguatan diri dan pribadi kita. Atau
mungkin karena disebut sebagai sarana penguatan maka di bulan ini iman
kita jadi kuat tapi tidak di bulan lainnya? Atau karena bulan ini adalah bulan
mulia, sehingga diri kita berubah menjadi seolah mulia hanya pada bulan ini
saja namun kembali menghinakan diri kita dengan bermaksiat padaNya? Atau karena
Ramadhan adalah bulan Quran, sehingga kita hanya bisa menamatkan bacaan
30 juz Al Quran hanya pada Ramadhan?
Terlupakah kita akan hadits yang
mengatakan bahwa kita disebut rugi bila saat ini sama dengan kemarin, atau
bahkan disebut celaka bila kita menjadi lebih buruk. Terlupakah kita, bahwa
kita disebut melalaikan Quran kala tak mampu menamatkannya dalam sebulan?
Terlupakah kita, bahwa kita dicipta sebagai manusia yang berderajat mulia dan
aturanNya adalah untuk me-manusia-kan manusia. Terlupakah kita bahwa seluruh
aturan, perintah, serta ajaranNya tak hanya berlaku pada satu bulan saja.
Saya tidak bermaksud untuk
memvonis kalangan tertentu, karena saya tahu bahwa saya sendiri kerap seperti
apa yang telah tersebut di atas. Saya hanya ingin kita bersama perbaiki diri
dan sudut pandang kita terhadap Ramadhan. Menjadi pribadi yang baik tatkala
Ramadhan, dan terus menjaga kebaikan dan menambah dengan kebaikan lain pada
bulan selain Ramadhan.
Guru saya pernah berucap,
“Janganlah dibandingkan amalan ketika bulan Ramadhan dengan amalan di bulan
yang lain. Karena berbeda rasa, berbeda iklim, berbeda nuansa dan suasana.”
Saya setuju dengan perkataan tersebut, bagaimana pun Ramadhan adalah bulan
khusus kala setan terbelenggu, pinta surga terbuka, dan keridhoanNya terasa di
setiap hari Ramadhan kita. Namun itu bukan alasan berubah menjadi kembali
‘kurang baik’ setelah Ramadhan. Karena kita tidak pernah tahu, apakah kita
dapat berjumpa kembali dengan Ramadhan atau tidak. Bayangkan jika kita kembali
menjadi ‘kurang baik’ setelah Ramadhan dan pada saat itu waktu kita di dunia
sudah usai, na’udzubiLlah min dzalik.
Pada akhirnya, Ramadhan sudah
terasa gaungnya. Mari kita semarakkan semangat Ramadhan dalam tiap diri dan
jiwa kita. Agar siaplah diri kita menyambut dan berada di bulan yang mulia.
Juga semoga Ramadhan tidak hanya menjadi topeng bagi kita, karena menjadi
lebih baik ketika Ramadhan itu luar biasa dan tetap menjadi lebih baik pada
setelahnya itulah istimewa
.
Salam
#RinduRamadhan :)
Bagian awal pada tulisan ini diambil dari majalah Sabili edisi Khusus tahun 2003 dengan pengubahan seperlunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar