Kamis, 09 Juli 2015

Generasi 90an (dan generasi setelahnya), Generasi yang Belum Melihat Kejayaan Sepakbola Indonesia.

Generasi 90an
Bagi generasi 90an, tentu banyak hal menyenangkan yang sering bisa kita banggakan. Gaya dan kebiasaan yang dulu kita lakukan semasa kecil atau remaja, kini menjadi kenangan nostalgia yang punya kebanggaan tersendiri. Terlebih setelah munculnya akun-akun dan buku-buku yang mengangkat hal-hal berbau tahun 90an.

Indah memang, tapi disadari atau tidak, bagi pecinta sepakbola Indonesia ada hal yang terasa kurang. Generasi 90an, atau lebih tepat bila saya tujukan untuk generasi yang lahir pada tahun 90an belum pernah menyaksikan timnas senior negeri ini menjadi juara di turnamen atau kejuaraan resmi. Kecuali mungkin kalau kamu yang lahir tahun 1990 dan diajak ayah atau ibu kamu melihat pertandingan SEA Games 1991 yang merupakan gelar terakhir yang bisa kita banggakan. Setidaknya sampai saat ini.

Ferril Raymond Hattu, kapten Timnas Indonesia SEA Games 1991

Bukan bermaksud meniadakan prestasi adik-adik (tsah adik-adik) yang tahun 2013 lalu menjuarai piala AFF U-19 atau beberapa prestasi timnas futsal, tapi jujur saja rasanya memang sangat kurang apabila timnas senior dari sepakbola negeri kita sendiri belum juga kembali menorehkan tinta emas prestasi. Setiap kejuaraan yang diikuti timnas kita, terlebih saat timnas kita sampai pada partai final, tentu kita sangat berharap dahaga juara sepakbola negeri ini segera terobati. Senyum riang dan cerita heroik perjuangan yang berbuah manis menghiasi media dan suasana hingga beberapa hari. Namun apa daya, perjuangan belum hasilkan yang diharapkan. Rasanya seperti menjalani hari-hari bersama gebetan dengan bahagia, tapi pada akhirnya kita tak bisa menikah dengannya.


Final SEA Games 2013


Melihat tim-tim di Asia atau bahkan Asia Tenggara, yang dahulu bisa kita imbangi atau bahkan kita bantai, kini seolah sejajar atau sudah jauh berada di depan kita membuat saya berpikir. Atau kita semua harus berpikir. Pasti ada yang salah dengan sepakbola di negeri ini. Tidak perlu kita berkelahi meributkan siapa yang salah, tapi sudah saatnya kita berpadu agar tercipta solusi.

Tahun ini sepakbola negeri kita memang (semakin) berat ujiannya. Dengan segala ketidakjelasan yang ada, sepakbola negeri kita seperti untuk sekadar eksis pun sedang butuh perjuangan keras. Permasalahan yang setumpuk, saling tuding antar pemangku kepentingan, ditambah adanya sanksi dari FIFA, membuat semuanya semakin kompleks. Butuh lebih dari sekadar kerja agar sepakbola negeri kita kembali berjaya.

Orang bilang, pengalaman adalah guru yang baik. Tentu kita bisa belajar kepada guru yang baik itu. Melihat, memahami, meniru (seperlunya) dari sepakbola negara-negara Asia atau negeri tetangga yang berlari lebih kencang dari sepakbola negeri kita mungkin bisa sedikit menuntun pada jalan keluar yang kita tuju bersama. Tidak perlu kita malu untuk menyontek bila seperti ini. Bahkan kita perlu sejenak melepaskan segala kejayaan masa lalu, agar sadar bahwa sejatinya saat ini kita sangat tertinggal di belakang.

Saya yakin, bukan hanya generasi 90an yang merindukan gelar juara, tapi kita semuanya. Mulai dari anak-anak, sampai kakek atau buyutnya anak-anak merindukan melihat sepakbola negeri kita ini kembali berdiri tegak dengan kejayaan. bila generasi 90an sampai saat ini belum berkesempatan melihat timnas sepakbola negerinya mendapat gelar juara, maka buatlah sejarah dengan menjadikan generasi 90an sebagai generasi pembawa kembali kejayaan sepakbola Indonesia. Tentu dengan dukungan nyata dari para pendukung sepakbola Indonesia serta para pemangku kepentingan yang bisa saling berpadu.

Untuk kita semua, untuk kebanggaan negeri kita, untuk sepakbola Indonesia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar