Selasa, 20 November 2012

Ikhlas Tidak Berarti Ringan, Semampunya Berbeda dengan Semaunya. (Serial Muhasabah)

BismiLlah Ar Rahman Ar Rahim.

"Ah gak apa-apalah, kan mendingan beramal sedikit tapi kontinyu daripada beramal banyak tapi jarang-jarang." Seringkah kita mendengarnya? atau kita menjadi 'pelaku' yang mengucapkan hal serupa?

Ada yang menarik, saya tidak menyalahkan kalimat di atas tadi tapi saya sangat keberatan jika kalimat itu jadi dalih atau pembenaran atas rasa malas kita dalam beramal. Sudah sepatutnya memang kita sebagai muslim berdalil kepada Quran dan Sunnah, tapi bukan berdalih menggunakan Quran atau Sunnah. Kita diwajibkan mencari dan mengamalkan kebenaran dari sumber hukum kita, tapi bukan mencari pembenaran atas 'hal aneh' yang kita perbuat.

Benar memang, beramal yang sedikit tapi kontinyu lebih indah dibanding amal yang besar tapi jarang atau hanya sekali dilakukan. Hanya saja, lupakah kita bahwa termasuk golongan yang merugi bila hari ini sama dengan hari kemarin? Jika terus-terusan melakukan amalan yang sedikit tanpa peningkatan bukankah kita berarti termasuk golongan yang mengalami kerugian?

"Ah kan yang penting beramal semampu kita bro."

Eits, kata-kata semampu jangan dijadikan alasan pula untuk melengkapi alasan di atas. Jangan kita berdalih menggunakan kata 'beramal semampunya' padahal yang kita kerjakan hanyalah 'beramal semaunya'. Mampu mengerjakan soal-soal anak SMA tapi maunya mengerjakan soal-soal anak SMP atau anak SD. Mampu tilawah 1 juz per hari tapi maunya 2 lembar per hari. Mampu berinfaq 5.000 per pekan tapi maunya hanya 1.000 per pekan.

Kemampuan memang kita yang mengukur, tapi batas akhir kemampuan seringkali tertutupi oleh lemahnya kemauan. Jangan sampai Allah menurunkan kemampuan kita karena begitu lemahnya kemauan dan kecilnya kontribusi amalan.

"Lho kan yang penting ikhlas, daripada gw beramal kagak ikhlas!"

Ini lagi, ikhlas itu apa sih? Kalo yang situ maksud ikhlas itu sama dengan rela, maka anda salah besar!

"Lho, kenapa gitu?"

Lho, kenapa enggak? Ikhlas itu sama sekali tidak terkait dengan rela atau tidaknya kita. Ikhlas itu bukan berarti ringan dalam menjalankan, seringkali ikhlas itu terasa berat tapi di sanalah keimanan menguatkan. Ya, ikhlas itu sejatinya melakukan karena Allah. Murni tanpa embel-embel, baik itu rela atau terpaksa.

Sebagai contoh, coba kita lihat Nabi Ibrahim. Ketika dulu beliau sudah lama ingin mempunyai keturunan, dan di usia cukup tua beliau baru Allah karuniakan Ismail, turun perintah Allah untuk menempatkan Ismail dan ibunya di lembah yang tanpa ada penghuni lain satu pun. Rela gak sih nabi Ibrahim meninggalkan anak yang lama ia damba di sebuah tempat tanpa ada pemukiman serta minim perbekalan? Secara manusiawi rasa tidak rela pasti ada, tapi ia ikhlas. Masa iya seorang nabi dan rasul yang bergelar ulul azmi gak ikhlas, ia ikhlas melakukan perintah tersebut karena Allah meski berat. Amat sangat berat.

Coba kita lihat lagi ketika beliau diperintahkan ALlah tuk menyembelih anaknya. Ada gak sih bapak yang rela anaknya disembelih? Nabi Ibrahim juga manusia biasa, perasaan itu pasti ada. Tapi beliau ikhlas dan taat melakukan perintah Rabbnya sehingga digantilah yang disembelih dengan seekor domba.

"Jadi harusnya gimana?"

Gak apa-apa beramal mulai dari yang bisa kita kerjakan. Tapi upayakan ada peningkatan. Ketika kita sudah terbiasa melakukan sebuah amal kebaikan, latih tuk kita tingkatkan kualitas atau kuantitasnya. Karena memang tidak ada yang bisa instan melakukan amal dalam jumlah yang banyak. Butuh proses! Prosesnya pertama ialah pemaksaan, kemudian jadikan kebiasaan, baru setelah itu amal tersebut bisa jadi karakter dalam diri kita. Alah bisa karena biasa, kita biasa karena dipaksa!

Namun seandainya kita terjebak dalam suasana futur, terjadi degradasi keimanan dalam diri, sehingga dirasa beraaaat sekali melakukan amalan terbaik seperti biasanya, maka jangan sekali-sekali berhenti melakukan amalan kebaikan yang biasa kita lakukan. Jika memang sedang lemah iman, 'cukup' kurangi kuantitasnya. Biasa tilawah 2 juz per hari, yaa lagi futur gak apa-apa jadi 1 juz per hari dulu. Biasa infaq per pekan 100.000, lagi futur gak apa-apa sesekali jadi 50.000 per pekan. Intinya jangan sampai kebiasaan kebaikan kita terhenti, karena bisa mengakibatkan rasa yang teramat sangat berat untuk memulainya kembali.

Juga perlu dicatat, jangan sampai kita menikmati posisi futur kita. Harus sesegera mungkin kembali pada kondisi yang sebenarnya. Semangatnya harus kita nyalakan, agar diri ini tidak jatuh pada keterlenaan. Mengapa demikian? Lhaa, kan RasuluLlah bersabda bahwa yang hari ini lebih buruk dari kemarin maka ia termasuk golongan yang celaka. Maka dari itu kita harus sesegera mungkin kembali pada kondisi asli kita. Agar tidak termasuk sebagai golongan yang celaka. Lagipula, kita tidak pernah tahu kapan ajal kan tiba, alangkah sedih serta pedih hati bila meninggalnya kita dalam kondisi yang futur imannya. Bukan kondisi terbaik.

Maka, mari kita latih agar senantiasa meningkatkan kualitas serta kuantitas amalan kita. Beramal dengan kemampuan yang terbaik, bukan sekadar beramal semaunya. Agar semakin jelas, nyata, dan dekat surgaNya bagi kita. Karena surga itu masih terasa jauh...



Bandung, 20 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar